Selamat datang di Kawasan Penyair Jakarta. Terima kasih atas kunjungan Anda

Kamis, 11 Oktober 2007

Kurnia Effendi


Lahir di Tegal, 20 Oktober 1960. Tulisannya tersebar di berbagai media massa antara lain : Aktual dan Sinar Harapan. Antologi puisi tunggalnya bertajuk Kartunama Putih (1997), bersama antara lain : Pesta Sastra Indonesia (1985), Sajak Delapan Kota (1986), Malam 1000 Bulan (1990 dan 1992), Potret Pariwisata dalam Puisi (1991), Perjalanan (1992), Gender (1994), Bonzai’s Morning (1995), Dari Negeri Poci III (1996), Trotoar (1996), Mimbar Penyair Abad 21 (1996), Antologi Puisi Indonesia (1997), Jakarta dalam Puisi Indonesia Mutakhir (2000), Gelak esei & Ombak Sajak Anno 2001 (2001), Puisi Tak Pernah Pergi (2003), Bisikan Kata, Teriakan Kota (2003), Mahaduka Aceh (2005). Sejak mengikut sayembara menulis baik puisi maupun cerpen, menghasilkan sekitar 30 penghargaan, delapan diantaranya juara pertama. Pernah diundang oleh Dewan Kesenian Jakarta sebagai penyair untuk acara Mimbar Penyair Abad 21 (1996), dan Temu Sastra Kota Jakarta (2003). Salah satu puisinya :

Cisadane

Rembulan yang berkeramas hujan
Curahkan leleh emas di atas Cisadane
Serupa lampu yang berenang dari hulu ke batang kuala
Tak lelah ikan bercumbu, di antara jarum air menembusi punggung sungai
Mungkin awan lupa menyembunyikan mata bulan
Memandang penuh cinta kepada sepasang tawanan yang pulang kemalaman
“Aku harus menyeberang, melawan arus yang membentang,” ujar sang pelarian.
“Bayiku menunggu dalam demam. Ingin kutanam benih dendam.”
Subuh tertunda oleh kabut yang bersusun-susun
Muadzin di sudut surau merasa matanya rabun
Ia terlambat membangunkan jemaah lelap mimpi ngungun
“Hujan semalam melindungi langkah maling dari penglihatan siskamling.”
Sang imam tertunduk : ragu pada petunjuk
Dua batang kelapa rebah menjadi jembatan
Sepasang pencuri selamat dari kejaran
Pagi pecah oleh tangis bocah
Arus sungai seperti kekal membuncah
Matahari sumringah menatap pohon dan rumah
Perahu dan sampah
Sayur-mayur tumpah-ruah
Sejumlah pertengkaran tak selesai, namun hidup menuntut damai
Sungai melukis sejarah dengan kuas kemarau dan warna musim hujan
Dusun dibangun dari keringat orang lurus dan para penjahat
Cisadane mengaliri abad demi abad dengan cinta
Yang tak setiap sukma sanggup membalasnya
Senja yang berlindung pada sutra lembayung
Agar cahaya terakhir tak sentuh kulit perawan di tepi bengawan
Sisa air mandi menetes menjadi jejak cinta
Dikuntit setiap perjaka menjelang petang
Mereka beranak-pinak, lahir dan mangkat
Bersetubuh dan selibat, berdoa dan khianat
Tak lepas dari aroma sungai
“Apakah penarik riba yang loba itu telah menjadi rangkaya ?”
tanya seorang teraniaya.
Gemuruh pabrik menjadi cerita, buruh memekik berbuah canda
Sepasang di antara mereka, berjanji jumpa di tepi kali
Hendak menyerahkan buah dada, sebagai upeti
Hikayat pun mengalir seperti arus mendesir :
Cisadane membesarkan butir-butir padi
Namun sekali waktu kerontang seperti wadi
Bercermin kemilau air sungai : wajah lazuardi Tangerang
Pesawat terbang seperti belalang terperangkap cuaca
Cetak biru pencakar langit di benak kaum arsitek,
Memesan tempat di tepi Cisadane
“Selamat datang keluarga urban, tinggallah di sini sampai merata uban.”
Air ketuban rasa kelapa puan
Tak tercatat jumlah liter air yang terminum,
amis sungai telah membentuk sumsum.
Adalah sungai yang rindu menggenangi kota,
setelah sewindu tak diajak bicara
“Kemari, Nak. Kenalkan ini arus cinta, yang telah
membuat kita melepaskan kasta. Kenalkan arus cinta
yang mengubah duka menjadi bahagia.”
Di seribu pematang bercecabang, masih tertera jalan pulang
Di atas gelombang Cisadane , masih tersimpan pundi harapan

Jakarta, 2005

Tidak ada komentar: