Selamat datang di Kawasan Penyair Jakarta. Terima kasih atas kunjungan Anda

Kamis, 11 Oktober 2007

Ahmadun Yose Herfanda


Lahir di Kaliwungu, Kendal, 17 Januari 1958. Alumnus FPBS IKIP
Yogyakarta ini menyelesaikan S-2 jurusan Magister Teknologi Informasi pada Universitas Paramadina Mulia Jakarta. Kini sebagai redaktur sastra Harian Umum Republika. Karya-karyanya dipublikasikan di berbagai media sastra dan antologi puisi yang terbit di dalam dan luar negeri. Antaologi puisinya Secreets Need Words (2001), Waves of Wonder ( 2002), jurnal Indonesia and The Malay World (1998 ), The Poets’ Chant (1995). Cerpennya, Sebutir Kepala dan Seekor Kucing memenangkan salah satu penghargaan dalam Sayembara Cerpen Kincir Emas 1988 Radio Nederland (Belanda) dan dibukukan dalam Paradoks Kilas Balik (1989). Tahun 1997 ia meraih penghargaan tertinggi dalam Peraduan Puisi Islam MABIMS (forum informal Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia dan Singapura). Ia juga sering diundang untuk menjadi pembicara dalam berbagai diskusi dan seminar sastra nasional maupun internasionalBuku-bukunya yang telah terbit adalah Sang Matahari (1984), Sajak Penari (1991), Fragmen-Fragmen Kekalahan (1996), Sembahyang Rumputan (1996), Sebelum Tertawa Dilarang (1997), Ciuman Pertama Untuk Tuhan (2004), Sebutir Kepala dan Seekor Kucing (2004), Badai Laut Biru (2004), dan The Worshipping Grass (2005). Salah satu puisinya :


Indonesia, Aku Masih Tetap Mencintaimu

Indonesia, aku masih tetap mencintaimu
Sungguh, cintaku suci dan murni padamu
Ingin selalu kukecup keningmu
Seperti kukecup kening istriku
Tapi mengapa air matamu
Masih menetes-netes juga
Dan rintihmu pilu kurasa?

Burung-burung bernyanyi menghiburmu
Pesawat-pesawat menderu membangkitkanmu
Tapi mengapa masih juga terdengar tangismu?
Apakah kau tangisi hutan-hutan
Yang tiap hari digunduli pemegang hapeha?
Apakah kau tangisi hutang-hutang
Yang terus menumpuk jadi beban rakyat dan negara?
Apakah kau tangisi nasib rakyatmu
Yang makin tergencet kenaikan harga?
Atau kau sekadar merasa kecewa
Karena rupiahmu terus dilindas dolar amerika?

Ah, apapun yang terjadi padamu
Indonesia, aku tetap mencintaimu
Ingin selalu kucium jemari tanganmu
Seperti kucium jemari tangan ibuku

Sungguh, aku tetap mencintaimu
Karena itulah, ketika orang-orang
Ramai-ramai membeli dolar amerika
Tetap kubiarkan tabunganku dalam rupiah
Sebab sudah tak tersisa lagi saldonya!

Jakarta, 1997

Tidak ada komentar: