Selamat datang di Kawasan Penyair Jakarta. Terima kasih atas kunjungan Anda

Minggu, 31 Juli 2011

Novy Noorhayati Syahfida



Lebih dikenal dengan nama Syahfida. Lahir di Jakarta, 12 November 1976. Alumni Fakultas Ekonomi dengan Program Studi Manajemen dari Universitas Pasundan Bandung ini mulai menulis sajak sejak usia 11 tahun. Beberapa sajak masa kanak-kanaknya tersimpan di Majalah Anak-anak, sedangkan sajak-sajaknya yang belakangan pernah dipublikasikan di beberapa media massa, Dian Sastro for President! (AKY-Bentang, 2002), Dian Sastro for President! #2: Reloaded (AKY, 2003), Jurnal Puisi (2003), buletin sastra, situs sastra, dan juga beberapa milis sastra di yahoogroups. Sajak-sajaknya juga dapat dinikmati di situs pribadi yaitu: http://www.senja-syahfida.blogspot.com dan http://www.aku_ini_senja.blogspot.com. Saat ini bekerja di sebuah perusahaan kontraktor di Jakarta. E-mail: syahfida@yahoo.com.

Satu Bintang Untuk Lintang
: Anakku, Lintang

Nak, lihatlah satu bintang
yang bersinar seperti bulatnya matamu
gemerlap tersipu seperti senyummu

Nak, bayangkanlah satu bintang
ke dalam mimpi indahmu
dekaplah erat dalam tidur malammu

Mari Nak, kubisikkan tentang bintang itu
adalah engkau yang slalu bersinar
adalah engkau yang slalu membayang
dalam setiap perjalanan waktuku

Tangerang, 12 April 2007


Yang Jauh Disana

: yang terbaring disana

Ketika kata-kata terkurung dalam kesunyian
Puisi pun tak mampu bercerita
Atau sekedar melafadzkan mantra-mantra
Maka kematian menjadi semakin akrab
Seolah bersahabat erat dengan sang kehidupan
Mengekalkan yang ada menjadi tiada
Maka biarkan dia beranjak dalam diam...

Jakarta, 6 Juli 2011


Kau dan Aku

: untukmu, Lelakiku

Kau dan Aku adalah cinta
terpasung di kota yang berbeda
mengecap luka dari satu kata
asmara

Kau dan Aku adalah rindu
dari rasa yang menggebu
di kuncup-kuncup ragu
nan beku

Kau dan Aku adalah satu
dalam raga, jiwa nan padu
maka ijinkan aku bertahta di hatimu
wahai, Kekasihku...

Tangerang, 10 Juli 2011


Airmata

susut sudah airmata
dalam jarak yang tak terhingga
di dera hujan perasaan
dan setangkup kerinduan
ah, kau masih saja berkejaran
langkahmu tertatih di ujung kelokan

Tangerang, 11 Juli 2011

Selasa, 21 Juni 2011

Tuditea Masditok


Tuditea Masditok, kelahiran Bogor dan alumni universitas Negeri Jakarta ini sangat suka dengan sastra terutama puisi. Banyak puisi yang ditulisnya yang dipublikasikannya di media Facebook. Ia merencanakan akan membukukan semua puisi-puisinya dalam sebuah antologi puisi tunggalnya.Buku karya bersama antara lain , Antologi Puisi : ” Kado untuk Indonesia ” dan buku kumpulan cermin (cerita mini) dan puisi : ” Cerita Hati ”.


Kembalilah ke khitahnya

Sebuah premi
apakah harga mati
untuk abad kini

asuransi
benarkah solvabilitas industri
yang tengah menghujani
sebuah investasi

kinerja premi
terasa menggetarkan
hingga mencapai angka trilyunan

yang besar semakin membesar
yang bawah semakin tertekan

satu unsur yang terpenting
wahai jiwa-jiwa industri
kembalilah ke khitahnya
karena sesungguhnya
kami membutuhkan
sebuah perlindungan
bukan rekayasa nilai-nilai

Monday, May 23, 2011


Ming dan Siti Wati (Asal mula kelenteng ancol)

Akulah Ming
seorang buruh masak yang handal
kuikuti kapal berlayar
membawaku pada perjalanan panjang
mengukur luas samudera
berlayar dari negeri cina mencari sunda kelapa
bertemankan gelombang
berpayungkan camar yang terbang

Perjalanan menyenangkan
hingga
seekor naga menyerang
tak kubiarkan
kami berlompatan
mempertahankan nyawa
menyelamatkan sesama
kami senang
ya
telah selesai pertikaian

Namun
tidak
aku tak bisa ke selat sunda
banjir sedang melanda
hingar bingar
bukankah lebih baik turun ke darat
mencari makan dan mencari obat

Kunikmati hariku
tak ada sunyi tak ada sepi
tak pula ingin menyendiri
seorang gadis cantik ingin segera kunikahi
siti wati
ah dia akan kuperistri
hari ini !

Friday, May 6, 2011

...* Red : Akhirnya mereka menikah, hingga suatu saat jatuh sakit, dan keduanya meninggal dunia. Untuk mengenang kebaikan Ming dan istrinya, maka dibangunlah sebuah kelenteng, kelenteng itu dinamakan "Kelenteng Ancol" .


Kota Sepi

Sirene berkumandang kencang
mencongkel sudut-sudut kota
topan menyapu tak memberi salam
menatap jam
kikuk
kikuk
tepat jam dua malam
sebuah figura yang terpampang
menatapku tajam
ada apa ?
meraba dalam kegelapan
Braaaaakkk
angin kencang
suara serigala bersahutan
membuyarkan keheningan
bukankah kali ini kita telah melewati fase yang mematikan
menyulut api dalam pembakaran
sejenak hangatkan badan
mencari remah sandwich yang tersisakan
tiba-tiba kembali padam
kota sepi

Apakah semua telah mati ?


Wednesday, March 16, 2011


Kotak Mainan

rasanya separuh hati mulai tak dapat kuisi lagi
setelah lambaian tangan
menggodaku untuk memandang kepergianmu
seberapa besar aku dapat menghadang

kudekati sebuah koper
bagaimana bisa membukanya
nyaris aku lupa
barisan angka-angka yang kuputar
terdiam tak bergerak
tangisku memuncak
bukankah hanya satu barang kenangan yang telah kau tinggalkan
membuang pandangan ke satu arah kelam
hawaku panas
cahayaku gelap
lunglai menghadapi tembok kekar dalam keterpurukkan
hanya bertemankan pena biru tertulisi namamu
mencabik-cabik nyala lampu tempel bukanlah inginku
kemana harus kubuang kepedihan yang sangat menghantam
tak terbakar
tak terhibur
dengan apapun
selain sebuah kotak musik mainan
terpenjara dalam koper yang ditinggalkan tuan

Wednesday, March 16, 2011


Jangan Panggil Aku Jeannete

Musim gugur kali ini tak ada rencana yang pasti
tak kusiapkan pula jerami-jerami kering untuk kudaku
biarlah
kunikmati dulu rasa kantuk yang deras menyerangku

sekelebat menghampiri sebuah bayangan
lima tahun silam
masih ada yang setia mengantarkanku ke tempat sepi ini
sekedar berjalan-jalan
menikmati tingginya bukit-bukit hijau
kini tak ada yang menyeruakan

memanggil namaku yang sama dengan nama kudaku "Jeanette"

jika tanah saja menjadi basah tersiram hujan
bagaimana dengan aku
embun kurasa betah berlama-lama di ujung lentik bulumataku
aku tak dapat mendekapmu selamanya
kau terlepas
bahkan kurasa telah kau bawa cintaku yang telah kutuliskan
di atas lembaran-lembaran kertas
kehilangan
benar-benar membuat ragaku menjauh tinggi
hanya tinggal debu-debu di sepatu bootku
tak ada tebaran senyuman
duka yang berkelanjutan

Jangan panggil aku Jeanette !


Wednesday, March 16, 2011

Rabu, 20 Oktober 2010

NANANG RIBUT SUPRIYATIN

Lahir di Jakarta, 6 Agustus 1962. Menulis puisi, cerita pendek dan artikel sastra dan dimuat diberbagai media massa, pusat dan daerah sekitar tahun 1980-an. Pernah aktif dalam kelompok Studi Sastra asuhan Korrie Layun Rampan (1981-1983), Pendiri Kelompok Sastra-Kita Jakarta (1984) dan Medan Sastra (1989). Ikut beraktivitas dalam Komunitas Sastra Indonesia.

Puisi-puisinya terkumpul dalam ”Empat Melongok Dunia” (1984), ”Suara Suara” (1985), ”Nyanyian Tanah Merdeka”, ”Sketsa Sastra Indonesia”, ”Sang Penyair” (1986), ”Dunia di Persimpangan Jalan” (1989), ”Prosa Pagi Hari” (1985), ”Bayangan”, ”Dari Bumi Lada” (1996) dan masih banyak lagi puisi-puisinya yang termuat diberbagai antologi puisi bersama.

Memenangkan Lomba Cipta Puisi dan Cerita Pendek yang diselenggarakan Skh. Sinar Harapan (1982), Gelanggang Remaja Bulungan (1982), Skh. Terbit (1983), Biro Informasi Sastra Banjarmasin (1984), Skm. Swadesi (1986), Majalah Trubus (1996) dan mendapat penghargaan Puputan Margarana Award, Bali (1989).

Mengikuti Forum Puisi Indonesia yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta (1987), Tiga Penyair Jakarta Baca Sajak di Tim (1988) dan Forum Penyair Jakarta di Tim (1989).

Sampai saat ini masih aktif sebagai Pegawai Negeri Sipil.


MAYAT YANG MENARI

Mayat itu terus menari
Disunting gamelan bulan

Ajaklah aku wahai mayat yang menari
Bersamamu hingga mabuk kepayang

Telah kutanya pada mereka
Rupa busukmu, o mayat yang menari
Telah kutahu dosamu yang kesekian

Hirup pahit dan getir dunia
Dengar lonceng kiamat di telingamu

Pada tubuhmu,
Aku temukan diriku terbakar


OBSKURISME SAJAK

Adakah katakata itu gelap
Seperti hatiku

Mereka mungkin tak mengenalku
Ya mereka mungkin akan menjauhiku

Atau seperti para penyair
Penerima nobel prize

Sudah terlanjur aku masuki bajuku
Kuselami sumur tanpa dasar*
Dan lautan yang bernyanyi

Seperti hatiku
Dan sajakku yang tak kaukenal

Aku masuki tubuhku sendiri
Agar lebih paham siapa diriku

• Teringat judul drama Arifin C. Noor


PATUNG BICARA

Sukur aku terbuat dari batu
Dan aku diletakan ditempat yang mencolok
Aku sudah biasa terhempas angin, tersiram hujan
Dan tersinar matahari

Oleh karena tubuhku dari batu
Aku tahan berabad lamanya berdiri dialam terbuka
Hingga dengan leluasa aku dapat memandangnya
: jalanjalan, usungan keranda!

Aku lebih leluasa daripada saudaraku yang terpenjara
Di museum dan rumahrumah kaca
Tanpa angin, tanpa hujan, tanpa sinar matahari
Dan takada kunjungan dari para sahabat

Sukur aku dapat memandang jarak
Meskipun aku menyesal kenapa lahir sebagai patung
Dan tidak sebagai manusia yang dapat bernapas,
Berbicara dan menikmati keindahan dunia, seisinya


PENARI

Manakah yang mempesona
Rambut di ketiaknya
Atau geliat di tubuhnya

Sementara kutukutu busuk itu
Memandang dengan tajam matanya
Betapa aneh cara mereka memandang
Tapi sang penari tak juga beranjak
Bahkan memperlihatkan kesan erotis

Dan para lelaki jantan
Dengan garang menatap
Oho, sang penari tak bergeming
Terus menari bersama nasibnya yang gamang

Manakah yang menggiurkan
Kaupandang kulitnya bak sutera keemasan
Dan rambutnya terurai manja

Ahai, ia bukan penari cina
Ia adalah cermin yang memukau
Dan membuat lelaki lelap dalam tidurnya


SEBUAH PROLOG

koran telah menguak dunia jadi berita hangat
dari jagatraya rahasia demi rahasia telah terkepung!

Lihatlah para pewarta itu datang padaku
Ingin menulis tentang bendabenda, hewanhewan, manusia,
Pohonpohon yang tak pernah terungkap sebelumnya
Padamu aku bercerita tentang kemiskinan dan penderitaan
Dan sebagai off the record aku tak pernah menunjukan fakta dari dunia
Yang terluka ini. Tapi kubawa mereka berkeliling dari satu benua kelain benua
Hingga mereka berfantasi dengan pikiran-pikirannya
Napas mereka kian sesak. Mungkin karena cuaca buruk
Perutnya keroncongan lantaran taktahan menyaksikan bayibayi teraniaya
Dan perutnya merintih kelaparan
Ketika terekam dari bibirnya kering aku menduga musim kering berkepanjangan
Telah membuatnya kehilangan mataair dari airmatanya
Kemudian mereka minta padaku menyelesaikan perjalanan ini
Aku taktahu apakah mereka ingin tetap berkisah tentang pertumbuhan kehidupan
Yang langka ini atau apakah korankoran miliknya taklagi mencetak berita dukacita
Dari sebuah negara di negeriku.
Entah, aku taktahu


SEPAHAM

Kita sepaham dalam menerima luka
Tentang pedih perihnya
Jutaan hari tercipta. Begitulah
Jutaan hari membawa luka dan erangan
Tak kusesalkan sebagaimana tak kausesalkan
Kita semua menerima luka dari jerit purba
Tak kutangisi sebagaimana tak kautangisi
Karena luka itu sendiri berjalan dan merenggut
Dalam guratanguratan nadi dan uluhati
Kesedihan apalagi
Kesedihan takpernah mengekalkan kesejatian diri
Selain merengkuh dan mencintainya

Kita
Sepaham
Dalam
Menerima
Luka
Sebagaimana
Dosadosa kita
Telah jadi milikNya
Sejak dulu
Sebelum
Kita
Jadi apa

Entah...


ULARULAR
: hendra z

Ularular yang kautujukan padaku
Terkadang hadir dimalam-malam sunyiku
Dalam kasmaran dan malammalam cintaku
Ularularmu senantiasa mendesiskan lidahnya
Berjalan di ranjangku dan meliliti kakiku
Ularularmu yang memiliki kulit keemasan
Datang dan pergi tanpa kutahu
O, terbayang ularular itu mematuk tubuhku. Ngeri
Dan lebih mengerikan ketika siksa menjajah hidupku
Ularularmu memuntahkan bisa kesetiap bayanganku


PENGEMBARA

Beribu musim telah kukunyah diamdiam
Dalam jutaan mabuk. Kotakota terpasung
O kotakota telah kurenggut jadi kanvasku
Lantas kucat dengan bibirbibir matahari
Kutelan kembali dan kumuntahkan kembali
Hingga tercium bau busuk dari tubuhnya

Katakataku pun muncrat, membumbung ke udara
Ditelan burungburung gagak dan dimuntahkan kembali
Ke lautan yang takpernah kausinggahi
Masuk kedasarnya menjadi makanan ikanikan dan
Lumutlumut hidup dimuntahkan kembali dan mengambang
Dipermukaan laut

Aku mencari jejak tuhan disetiap tempat dalam setiap musim
Juga waktu aku berbetah diri jadi nelayan yang menangkap ikanikan
Ya kubawa ikanikan dalam rumahku
Kutelan ikanikan hiduphidup
Maka muncratlah katakata dan tergantung di semesta
O, kini aku telah berlayar jauh
Melambung dan mengawang jauh

Selamat tinggal engkau yang melambung dalam gelap


TELAH KUTANAM

Telah kutanam cintaku lantaran takut aku padamu
Tak mungkin aku kehilanganmu, bertahuntahun
Selama hidupku. Takmungkin aku jauh darimu
Telah kusimpan yang manismanis dan telah kubuang
Yang pahitpahit kedalam selokan
Sepanjang waktu dan bila harihariku kembali
Akupun datang padamu dengan katakata bijak
Aku datang dan tak mungkin kuungkapkan katakata
Yang membuat hatimu gundah gulana
Ah, tak mungkin engkau kuperdaya dengan segala tetekbengek,
Racun bisaku
Dan rumusrumus hidupku yang rancu tak mungkin kuberikan padamu
Sebab hanya milikkulah kerajaan abadi yang tercipta dari tangkaitangkai
Daun sewaktu aku dalam samadi. Dan itu pun ketika aku terkenang padamu


LAGU BULAN AGUSTUS

Akhirnya kubaringkan ruhku dalam tikar dunia
Yang tak kausinggahi. Berselimutkan katakata
Agar angin leluasa menerimaku, aku pun tengadah
Memohon doa dan restu bagi kakekku-nenekku dan saudarasaudaraku
Yang lebih dulu telungkup dalam tanah. O dunia!

Kini ruhku mengembara, bersama burungburung
Aku pun terbang dari satu pulau ke lain pulau
Berlayar serupa slauerhouff si pengelana sejati
Dan tak pernah kutemui guadalajara, kota tercinta

Dan aku tak pernah merasa lelah ketika tubuhku
Kuistirahatkan dalam dingin kamar
Bersama dindingdinding dan gambargambar senja
Imajinasiku pun berloncatan

Separuh ruhku terjaga di pagi bulan agustus

Selasa, 22 April 2008

Budhi Setyawan


Lahir di Purworejo, 9 Agustus 1969. Menyelesaikan Pendidikan Tinggi di Fakultas Ekonomi Universitas Gajahmada Yogyakaarta. Beberapa karya puisinya pernah dimuat disalah satu harian di Kalimantan Timur. Buku kumpulan puisinya : Kepak Sayap Jiwa ( 2006 ), Penyadaran ( 2006) dan Sukma Silam (2007). Dari tahun 1999 sampai sekarang menjadi pegawai negeri di Departemen Keuangan.


MIMPI KEMBALI

merpati-merpati hinggap di kursi
bangku taman boulevard miring
di bawah kepak angin menusuk tengkuk
ini musim panas!
menawarkan gerimis dan hujan
pada dinding kota: terdiam
mengalir wajah Purworejo
irama lambat nan pelan
mengisi sungai nadi
penuhi danau hati
ada yang merasa ditinggal dan dilupakan
memanggil-manggil di trotoar Jenewa
“aku disini
mencacah sepi
mengurai jalan kembali”
“kau bangunkan aku
dari tidur perjalanan
dalam bisik keyakinan”
kota-kota sibuk berlari
di simpang bimbang tanya menepi
“darimana kita memulai?”

Jenewa (Swiss), 27 Juni 2007


BERONTAK KATA BIJAK

engkau berlari mengibarkan caci maki
saat kau tahu
engkau tak kutulis dalam sajakku
aku lebih menerima kata
terlahir terakhir
setelah lelah berdebat denganmu
tentang sebuah nama dan makna
maaf sementara
kutinggalkan dirimu di ladang jauh
wahai kata bijak
nanti kudatangi sebelum shubuh jatuh

Jenewa (Swiss), 27 Juni 2007

SABAR

lautan mengangkut kerdil
malam mengangkut jarak
hutan mengangkut doa
hujan mengangkut kapan
aku mengangkut masih

Jakarta, 13 Juli 2007


KUKETUK DIAMMU

pagi baru mengetuk hari
ketika tiba-tiba Jakarta mendekapku lekat
sebentar, aku membuang sengal
mana janjimu kemarin?
janji apa?
tentang rindumu yang kaulukiskan di sepanjang trotoar
ya rinduku pontang-panting terpelanting
digulung asap dan karat zaman
kini tengah kucari serpih-serpihnya
pada tawa gedung-gedung tinggi
tapi malah kuteriris runcingnya
mari ke kolong tol
mewarnai kanvas waktu
dengan harum sampah dan kudis luka

Jakarta, 6 September 2007


MOZAIK PURBA

kucangkul wajahmu
dengan buta mataku
ini hari menelisik siang
kepak sayap jauh merindu labuh
batu kerikil membuih asap
gamang beku menyungai usah singkap
kucangkul suaramu
dengan tuli telingaku
ini syair menanyakan kata
kamar pengap meruap membingkai kumal
awan usang merangkai kecipak
jelaga bersolek merayap mengirimkan senja
kucangkul wangimu
dengan kedap hidungku
ini lagu mencari irama
ombak menggelinjang lengkung mengantar pasang
angin musim membelukar ladang
gusar lunglai mengejar kepingan pijar
kucangkul kisahmu
dengan kisahku
berderak-derak, merekah ranting patah
berdesak-desak, menderai enggan usai

Bekasi, 21 Oktober 2007

Kamis, 29 November 2007

Yvonne de Fretes


Lahir 10 Oktober di Singaraja, Bali. Pernah jadi wartawan,kolomnis di beberapa media cetak di Jakarta. Karyanya dimuat di majalah sastra Horison dan media cetak di pusat dan daerah. Sebagi sekretaris Himpunan Pengarang Indonesia AKSARA dan ketua umum Wanita Penulis Indonesia (2007-2010). Anggota KSI. Pendiri Forum Wanita Sastra di Padang. Tercatat sebagai anggota Dewan Buku Nasuional. Mendirikan Pusat Pembelajaran & Pemberdayaan Masyarakat (P3M) Tiara HumaLand dengan kegiatan antara lain : Mengadakan Taman Baca Masyarakat, PAUD & TK di desa Bogor. Kini menyelesaikan S 3. Sebagai pengajar dibeberapa Perguruan Tinggi di Jakarta. Juga Konselor di beberapa Lembaga dan Perguruan Tinggi. Menerima Citra Kartini Award 2001,sebagai penulis sastra. Puluhan karyanya yang diterbitkan antara lain : Kumpulan Cerpen Tunggal “ Bulan di Atas Lovina”(1995), “ Sunting” kumpulan puisi bersama Upita Agustina (1995),”Resonansi Indonesia” antologi puisi dwi bahasa (Ind-Cina,KSI,2001), “Dunia Perempuan” kumpulan cerpen’Perempuan CerpenisIndonesia (2002), ”Pesona Gemilang Musim” kumpulan puisi perempuan penyair Indonesia (2004).


Yvonne De Fretes
:pro umbu landu paranggi

pernahkah kita jumpa di sebuah jamuan di sana ,bang?
begitu banyak yang tercecer dalam perjalanan
menuju masa remaja di
sabana itu
selalu kudekap kemana pergi

sepinya pulau di selatan
ya,sumba
di mana ringkik kuda dan lenguh sapi
tak pernah ragu menapak,pada
gersangnya padang dan bukit

sajakku ingin menebar di sabana itu,bang
mungkin kita memang pernah jumpa di sebuah jamuan di sana

kata sebuah suara”kau boleh meneruskan rasa rindu itu”


jakarta

Senin, 15 Oktober 2007

Agus R Sarjono


Lahir di Bandung, 27 Juli 1962. Menyelesaikan Studinya di FPBS, IKIP Bandung dan pasca sarjana UI.Semasa mahasiswa aktif di Unit Pers Mahasiswa IKIP Bandung, sebagai ketua (1986-1988). Menulis sajak, cerpen, esai, kritik, dan drama. Karya dimuat berbagai Koran, majalah dan jurnal di Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, Inggris, Jerman, dan Amerika Serikat. Pernah membaca sajaknya dalam event internasional, antara lain “ Asean Writers” Conference/Workshop (Poetry), Manila (1994); Istiqlal International Poetry Reading”, Jakarta (1995),” Festivel Seni Ipoh ke-III”, Negeri Perak, Malaysia (1998),”Malam Puisi Indonesia-Belanda”, Erasmus Huis Jakarta (1998),”Festival de Winternachten”, Den Haag, Belanda (1999),” Poetry on the Road”, Bremen, Jerman (2001),dan “Internationales LeteraturfestivalBerlin”,Jerman (2001). Kumpulan sajaknya antara lain Kenduri Airmata (1994,1996), Suatau Cerita dari Negeri Angin. Banyak karya esai dan buku terjemahannya. Pernah ketua DKJ priode 1998-2001. Sehari-harinya bekerja sebagai pengajar pada Jurusan Teater STSI Bandung, serta redaktur Majalah Sastra Horison. Ia adalah sastrawan Indonesia pertama yang mendapat kehormatan untuk tinggal dan menulis di rumah sastrawan besar Jerman peraih Nobel Sastra, Heinrich Boll Stiftung.
Salah satu puisinya :

Sesaat Sebelum Kebakaran Hutan

Kita seperti puisi ya? Bisik embun di sela daun pada kabut
yang perlahan turun bersama senja. Matahari tinggal jejak
kemerahan di cakrawala. Beberapa kelelawar melintas
di antara pohonan dan rembang senja.

Bukankah kita seperti puisi! tanya embun di sela daun
pada angin yang menari bersama angin di sela bunga
Beberapa kunang-kunang berkerlipan
menggaris malam.

Apa kita seperti puisi? Atau setidaknya kenangan
ucap embun yang hampir menetes di sela daun kepada cahaya
bulan yang baru tiba di hamparan rumputan. Beberapa ikan
berkecipak malas, dalam kolam.

Rasanya kita seperti pembangunan, kata setumpuk bata
dan batu-batu sambil tersenyum-senyum dan membagi kartu.
Tentu saja kita pembangunan! Bukankah kita merdeka
dan mandiri seperti sebuah kota. Coba bikin api unggun
dari ranting dan daun-daun, biar kabut dan dingin berangkat
Biar malam sedikit lebih hanghat!

Kabut, dingin dan cahaya bulan saling berpandangan
Termangu,. Malam berjalan, selapis demi selapis. Kelelawar
kunang dan ikan-ikan melintas lamban. Apakah kita …
tapi embun itu tak berani lagi bertanya. Ia pun menetes

seperti airmata.

1996

Minggu, 14 Oktober 2007

Juftanazi


Lahir di Pekanbaru, 11 November 1960. Menulis puisi sejak duduk di bangku PGA Negeri Pekanbaru tahun 1978. Tradisi kepenulisannya selama kuliah di Fakultas Adab IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (1981-1988). Tulisannya banyak dimuat di berbagai media pusat maupun daerah seperti PR Bandung, Bandung Post, Masa Kini Yogya, Berita Nasional Yogya, Haluan Padang, Riau Post Pekanbaru, Republika, Berita Buana, Media Indonesia dan lain-lain. Kini menjadi ketua Lingkaran Sastra Nukleus, UIN Syahid Jakarta. Antologi tunggalnya Setangkai Bunga akan diterbitkan Pusaka Sufi, Yogyakarta. Salah satu puisinya :

Kenangan Atas Maria Nikolaievna

barisan kesedihan seperti
nyanyian balalaika
menyanyikan “kenangan abadi” atas musim berlari
“siapa yang akan dimakamkan ?”
“dr zhivago !”
“pantas”
“bukan dia ! tapi istrinya !”
“apa bedanya ?”
angin menderukan nyanyian itu
seperti gembala meniup balalaika
di padang siberia

di saat terakhir
pendeta menebarkan tanah
dalam bentuk salib
keranda ditutup, dipaku
dan diturunkan
gumpalan-gumpalan tanah
seperti hujan menimpa peti mati
kesedihan dan nyanyian abadi
tak juga surut
tatkala pidato terakhir
melepas jenazah maria nikolaievich
ke hadirat yang kuasa
kematian nyonya zhivago
diikuti kematian-kematian nurani,
revolusi dan pembunuhan-pembunuhan
tak bertepi
seperti mendung begitu cepat berubah hitam
hujan deras pemberontakan
atap kerajaan tsar yang kokoh
hancur-lebur diremukkan hujan salju
yang jatuh sekepal batu koral
darah dan airmata

nyanyian sunyi diiringi tiupan balalaika
di padang-padang siberia
di timurnya terbentang kepulauan “GULAG”
kampung putra-putri terbaik rusia
merintih meneteskan darah dan kelaparan
siksaan dan bencana !

Ciputat, 20 Desember 2005