Selamat datang di Kawasan Penyair Jakarta. Terima kasih atas kunjungan Anda

Rabu, 20 Oktober 2010

NANANG RIBUT SUPRIYATIN

Lahir di Jakarta, 6 Agustus 1962. Menulis puisi, cerita pendek dan artikel sastra dan dimuat diberbagai media massa, pusat dan daerah sekitar tahun 1980-an. Pernah aktif dalam kelompok Studi Sastra asuhan Korrie Layun Rampan (1981-1983), Pendiri Kelompok Sastra-Kita Jakarta (1984) dan Medan Sastra (1989). Ikut beraktivitas dalam Komunitas Sastra Indonesia.

Puisi-puisinya terkumpul dalam ”Empat Melongok Dunia” (1984), ”Suara Suara” (1985), ”Nyanyian Tanah Merdeka”, ”Sketsa Sastra Indonesia”, ”Sang Penyair” (1986), ”Dunia di Persimpangan Jalan” (1989), ”Prosa Pagi Hari” (1985), ”Bayangan”, ”Dari Bumi Lada” (1996) dan masih banyak lagi puisi-puisinya yang termuat diberbagai antologi puisi bersama.

Memenangkan Lomba Cipta Puisi dan Cerita Pendek yang diselenggarakan Skh. Sinar Harapan (1982), Gelanggang Remaja Bulungan (1982), Skh. Terbit (1983), Biro Informasi Sastra Banjarmasin (1984), Skm. Swadesi (1986), Majalah Trubus (1996) dan mendapat penghargaan Puputan Margarana Award, Bali (1989).

Mengikuti Forum Puisi Indonesia yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta (1987), Tiga Penyair Jakarta Baca Sajak di Tim (1988) dan Forum Penyair Jakarta di Tim (1989).

Sampai saat ini masih aktif sebagai Pegawai Negeri Sipil.


MAYAT YANG MENARI

Mayat itu terus menari
Disunting gamelan bulan

Ajaklah aku wahai mayat yang menari
Bersamamu hingga mabuk kepayang

Telah kutanya pada mereka
Rupa busukmu, o mayat yang menari
Telah kutahu dosamu yang kesekian

Hirup pahit dan getir dunia
Dengar lonceng kiamat di telingamu

Pada tubuhmu,
Aku temukan diriku terbakar


OBSKURISME SAJAK

Adakah katakata itu gelap
Seperti hatiku

Mereka mungkin tak mengenalku
Ya mereka mungkin akan menjauhiku

Atau seperti para penyair
Penerima nobel prize

Sudah terlanjur aku masuki bajuku
Kuselami sumur tanpa dasar*
Dan lautan yang bernyanyi

Seperti hatiku
Dan sajakku yang tak kaukenal

Aku masuki tubuhku sendiri
Agar lebih paham siapa diriku

• Teringat judul drama Arifin C. Noor


PATUNG BICARA

Sukur aku terbuat dari batu
Dan aku diletakan ditempat yang mencolok
Aku sudah biasa terhempas angin, tersiram hujan
Dan tersinar matahari

Oleh karena tubuhku dari batu
Aku tahan berabad lamanya berdiri dialam terbuka
Hingga dengan leluasa aku dapat memandangnya
: jalanjalan, usungan keranda!

Aku lebih leluasa daripada saudaraku yang terpenjara
Di museum dan rumahrumah kaca
Tanpa angin, tanpa hujan, tanpa sinar matahari
Dan takada kunjungan dari para sahabat

Sukur aku dapat memandang jarak
Meskipun aku menyesal kenapa lahir sebagai patung
Dan tidak sebagai manusia yang dapat bernapas,
Berbicara dan menikmati keindahan dunia, seisinya


PENARI

Manakah yang mempesona
Rambut di ketiaknya
Atau geliat di tubuhnya

Sementara kutukutu busuk itu
Memandang dengan tajam matanya
Betapa aneh cara mereka memandang
Tapi sang penari tak juga beranjak
Bahkan memperlihatkan kesan erotis

Dan para lelaki jantan
Dengan garang menatap
Oho, sang penari tak bergeming
Terus menari bersama nasibnya yang gamang

Manakah yang menggiurkan
Kaupandang kulitnya bak sutera keemasan
Dan rambutnya terurai manja

Ahai, ia bukan penari cina
Ia adalah cermin yang memukau
Dan membuat lelaki lelap dalam tidurnya


SEBUAH PROLOG

koran telah menguak dunia jadi berita hangat
dari jagatraya rahasia demi rahasia telah terkepung!

Lihatlah para pewarta itu datang padaku
Ingin menulis tentang bendabenda, hewanhewan, manusia,
Pohonpohon yang tak pernah terungkap sebelumnya
Padamu aku bercerita tentang kemiskinan dan penderitaan
Dan sebagai off the record aku tak pernah menunjukan fakta dari dunia
Yang terluka ini. Tapi kubawa mereka berkeliling dari satu benua kelain benua
Hingga mereka berfantasi dengan pikiran-pikirannya
Napas mereka kian sesak. Mungkin karena cuaca buruk
Perutnya keroncongan lantaran taktahan menyaksikan bayibayi teraniaya
Dan perutnya merintih kelaparan
Ketika terekam dari bibirnya kering aku menduga musim kering berkepanjangan
Telah membuatnya kehilangan mataair dari airmatanya
Kemudian mereka minta padaku menyelesaikan perjalanan ini
Aku taktahu apakah mereka ingin tetap berkisah tentang pertumbuhan kehidupan
Yang langka ini atau apakah korankoran miliknya taklagi mencetak berita dukacita
Dari sebuah negara di negeriku.
Entah, aku taktahu


SEPAHAM

Kita sepaham dalam menerima luka
Tentang pedih perihnya
Jutaan hari tercipta. Begitulah
Jutaan hari membawa luka dan erangan
Tak kusesalkan sebagaimana tak kausesalkan
Kita semua menerima luka dari jerit purba
Tak kutangisi sebagaimana tak kautangisi
Karena luka itu sendiri berjalan dan merenggut
Dalam guratanguratan nadi dan uluhati
Kesedihan apalagi
Kesedihan takpernah mengekalkan kesejatian diri
Selain merengkuh dan mencintainya

Kita
Sepaham
Dalam
Menerima
Luka
Sebagaimana
Dosadosa kita
Telah jadi milikNya
Sejak dulu
Sebelum
Kita
Jadi apa

Entah...


ULARULAR
: hendra z

Ularular yang kautujukan padaku
Terkadang hadir dimalam-malam sunyiku
Dalam kasmaran dan malammalam cintaku
Ularularmu senantiasa mendesiskan lidahnya
Berjalan di ranjangku dan meliliti kakiku
Ularularmu yang memiliki kulit keemasan
Datang dan pergi tanpa kutahu
O, terbayang ularular itu mematuk tubuhku. Ngeri
Dan lebih mengerikan ketika siksa menjajah hidupku
Ularularmu memuntahkan bisa kesetiap bayanganku


PENGEMBARA

Beribu musim telah kukunyah diamdiam
Dalam jutaan mabuk. Kotakota terpasung
O kotakota telah kurenggut jadi kanvasku
Lantas kucat dengan bibirbibir matahari
Kutelan kembali dan kumuntahkan kembali
Hingga tercium bau busuk dari tubuhnya

Katakataku pun muncrat, membumbung ke udara
Ditelan burungburung gagak dan dimuntahkan kembali
Ke lautan yang takpernah kausinggahi
Masuk kedasarnya menjadi makanan ikanikan dan
Lumutlumut hidup dimuntahkan kembali dan mengambang
Dipermukaan laut

Aku mencari jejak tuhan disetiap tempat dalam setiap musim
Juga waktu aku berbetah diri jadi nelayan yang menangkap ikanikan
Ya kubawa ikanikan dalam rumahku
Kutelan ikanikan hiduphidup
Maka muncratlah katakata dan tergantung di semesta
O, kini aku telah berlayar jauh
Melambung dan mengawang jauh

Selamat tinggal engkau yang melambung dalam gelap


TELAH KUTANAM

Telah kutanam cintaku lantaran takut aku padamu
Tak mungkin aku kehilanganmu, bertahuntahun
Selama hidupku. Takmungkin aku jauh darimu
Telah kusimpan yang manismanis dan telah kubuang
Yang pahitpahit kedalam selokan
Sepanjang waktu dan bila harihariku kembali
Akupun datang padamu dengan katakata bijak
Aku datang dan tak mungkin kuungkapkan katakata
Yang membuat hatimu gundah gulana
Ah, tak mungkin engkau kuperdaya dengan segala tetekbengek,
Racun bisaku
Dan rumusrumus hidupku yang rancu tak mungkin kuberikan padamu
Sebab hanya milikkulah kerajaan abadi yang tercipta dari tangkaitangkai
Daun sewaktu aku dalam samadi. Dan itu pun ketika aku terkenang padamu


LAGU BULAN AGUSTUS

Akhirnya kubaringkan ruhku dalam tikar dunia
Yang tak kausinggahi. Berselimutkan katakata
Agar angin leluasa menerimaku, aku pun tengadah
Memohon doa dan restu bagi kakekku-nenekku dan saudarasaudaraku
Yang lebih dulu telungkup dalam tanah. O dunia!

Kini ruhku mengembara, bersama burungburung
Aku pun terbang dari satu pulau ke lain pulau
Berlayar serupa slauerhouff si pengelana sejati
Dan tak pernah kutemui guadalajara, kota tercinta

Dan aku tak pernah merasa lelah ketika tubuhku
Kuistirahatkan dalam dingin kamar
Bersama dindingdinding dan gambargambar senja
Imajinasiku pun berloncatan

Separuh ruhku terjaga di pagi bulan agustus